premeditatio
malorum – adalah istilah yang selama ini gua cari, dan itu berhasil gua
temuin di buku yang selama ini gua pengen beli dari masih duduk di bangku
sekolah, tapi karena gua mondok dan banyak kitab atau buku pelajaran yang harus
dibeli, jadi baru sekarang ini gua bisa nemuin makna yang gua cari. Dan buku
itu adalah filosofi teras, apasih premeditatio malorum itu? Begini penjelasan gua.
Masa ketika
pulang dari pondok ke rumah adalah masa-masa yang paling gua tunggu selain dijenguk
orang tua. Bukan, bukan karena gua manja sama orang tua terus-terusan tapi yang
gua harapin waktu itu adalah akhirnya gua bisa megang hape, untuk yang pernah
atau tau dunia per-pondokan seharusnya paham ini ya. Gua pengen megang hape
bukan berarti gua pengen main game, emang sudah sewajarnya anak seumuran gua
megang hape buat main game, tapi waktu itu gua pengen cari informasi lebih dari
apa yang selama ini gua bertanya-tanya ke diri sendiri, dan ini adalah pertanyaannya
“kalau kita dituntut untuk berpikir positif atau berprasangka baik kepada Allah,
boleh gak sih sesekali kita berpikir negatif buat ngurangin rasa sakit hati ketika
kita menerima realita gak sesuai dengan harapan? Dengan kata lain kita berpikir
negatif untuk berjaga-jaga jika suatu saat realita tidak sesuai harapan maka
yasudah, toh kita udah berpikir hal itu?” dan gua gak pernah ketemu jawaban itu selama
3 tahun di asrama, mungkin kalian yang membaca ini bertanya-tanya “kenapa gak
lu tanya aja ke ustadz, bukannya lu tinggal di asrama?”
Sayangnya
gua gak seberani itu, karena menurut gua itu masalah dan pertanyaan pribadi dan
pasti ketika gua bertanya ke guru atau ustadz mereka balik bertanya “kamu gak percaya
yang sudah ditentukan sama allah?” selalu ada kontradiksi dibalik pertanyaan
yang gua tanya terkait dengan apa yang selama ini gua pikirkan, tapi hei
bukannya kritis itu bagus? nabi Ibrahim sangat kritis ketika mencari
tuhannya dan karena itulah dia diangkat sebagai nabi? Itu dipikirin nanti aja. Setelah
sekian lama gua mencari jawaban dan gak ketemu waktu itu gua lagi asik scroll
youtube dan ada youtuber yang bahas tentang stoikisme dan buku yang paling
terkenal saat ini di Indonesia mengenai stoikisme adalah filosofi teras, itu
mengingatkan gua beberapa tahun yang lalu ketika gua cabut dari pondok buat ke Gramedia
(iya gua pernah bandel) melihat buku itu dan waktu itu gua gak cukup duit buat
beli buku filosofi teras. Setelah kerja dan kuliah alhamdullilah punya duit akhirnya
gua beli buku itu dan boom, jawaban gua yang selama gua cari ada di buku ini.
Boleh gak
sih kita berpikir negatif sesaat untuk menjaga hati kita supaya gak sakit banget
ketika menghadapi realita yang gak sesuai sama harapan? Gua bakal jawab boleh
dari sudut pandang filsafat tapi belum tentu boleh dari sudut pandang agama,
ini mengapa mempelajari filsafat akan lebih sulit dan banyak yang mengatakan bisa
jadi gila, karena filsafat dan agama di satu sisi mempunyai perbedaan dan di
sisi yang lain bisa berjalan beriringan. Tidak ada rumus pasti untuk mempelajari
filsafat dan agama bersamaan tapi untuk inilah kita dilatih berpikir dan
berlogika, mana yang benar dan mana yang salah? oh bukan, mana yang cocok dan
tidak cocok? apa jangan-jangan agama dan filsafat adalah 2 anak yang lahir bersamaan
tetapi memiliki gender yang berbeda? Dengan kata lain meskipun mereka berbeda tetapi mereka berasal dari hal yang sama?
Kenapa
gua mengatakan boleh untuk sesekali berpikir negatif? Karena premeditatio
malorum sedikit tidak menyalahi aturan agama. Perbedaan antara berpikir negatif
dengan premeditation malorum adalah jika kita hanya berpikir negatif kita akan
takut melangkah karena kita sudah berpikir kemungkinan apa yang akan terjadi
dan kita tidak mengambil langkah tersebut karena seakan-akan kita sudah tau
jawabannya, katakanlah “hmm kalo gua berangkat pagi ini pasti macet, ah mending
gua tidur aja malesin banget panas-panas begini macet” sedangkan premeditatio molorum
adalah kita berpikir negatif untuk berjaga-jaga kemungkinan buruk yang akan terjadi,
semisal “hmm kalo gua pagi ini berangkat pasti macet, oke gapapa
seenggaknya gua udah mengantisipasi ini duluan” dan apa yang terjadi, jika
bener pagi itu macet dia sudah gak heran karena sudah berpikir dari awal,
tetapi jika gak macet? Itu jadi keuntungan karena apa yang dia pikir justru gak
kejadian.
Gimana udah
ngerti belum perbedaanya? So, it’s okay untuk berpikir negatif tetapi itu bukan
untuk dijadikan alasan untuk tidak melangkah, berpikir negatif lah untuk mengantisipasi
kemungkinan buruk apa yang terjadi dan coba untuk terus melangkah, jika
kemungkinan buruk memang benar terjadi it’s okay karena kita udah berpikir itu
sebelumnya dan jika tidak terjadi? Itu justru lebih bagus dan lebih lega bukan?
Selanjutnya
gua bakal bahas rumus kedua dari filsafat stoisme, apa itu? Yaitu adalah amor
fati, dan itu adalah rumus yang gua anggap akan sangat sulit. See you in the next level.
Komentar
Posting Komentar